Jurnal Ramadhan E10 : Rejeki yang Diperjuangkan

by - Mei 26, 2018


Belakangan ini, godaan untuk surut menulis 30 hari mulai datang. Saya terlupa. Benar-benar saya merasa bersalah. Saya lupa mensettings penjadwalan draft yang sudah saya buat dan rapikan untuk jurnal ini. Mengingat aktivitas diluar makin banyak menjelang akhir bulan. Lagi lagi saya berusaha akan berjuang untuk challenge saya sendiri untuk bisa menasehati diri saya pribadi tiap hari di Bulan Ramadhan. Bisa juga merangkum catatan nasehat orang – orang yang saya terima.

Ini catatan kemarin yang belum sempat saya bahas. Bab mengenai rejeki, dulu di blog ini saya pernah membahas mengenai rejeki. Rejeki yang selalu kita khawatirkan. Kehidupan yang selalu bikin kita waswas. Kekhawatiran ekonomi lebih tinggi ketimbang kekhawatiran iman yang hilang. Rasa syukur yang habis karena takut ga bisa hidup layak sesuai ekspetasi. Saya mengingat masa itu, masa dimana berpindah dari Jakarta 1998 ketika krisis ekonomi. Usia kala itu masih 4 -  5 tahun, tapi entah kenapa memori itu membekas. Memori saya yang kemudian kesulitan menyesuaikan diri hidup dari 0 lagi di Pekanbaru. Saya masih teringat wajah ayahanda dan ibunda yang cemas, saya masih ingat kenangan yang hanya ditemani tape dan radio sebagai hiburan ketika tetangga lain memiliki tv elektronik. Bagi saya itu ingatan yang precious untuk jadi cambuk bagi saya, bahwa keluarga saya pernah sesulit itu memulai hal baru di Pekanbaru.

Jadi kadang flashback, kalau mau ngeluh sama hal yang terjadi sekarang. Ga pantes rasanya kalau dulu pernah dan bisa melewati masa sesulit itu. Jadi paham rejeki itu juga bagian ujian yang berat dari Allah dan akan selalu dibuat kita ngelewatinnya, diingetin kadang caranya kurang menyenangkan. Dikasih kekurangan dan kehilangan supaya kita sadar kalau harta yang kita miliki cuma titipan, bukan miliki kita. Bahkan jiwa raga kita bukan punya kita. Jadi pantaskah kita masih menuntut.

Rejeki adalah perjuangan penuh nilai. Seperti apa kita menjemput, seperti apa yang kita menggunakan, seperti apa kita memanfaatkan, semuanya dinilai dan diuji. Jadi kalau potennya jelek (nilai) kadang kala dibalas Allah langsung ke dunia dengan hal kurang menyenangkan, tapi dibersihkan dari dosa karena salah menggunakan rejeki titipan itu. Bisa juga dicicil dosanya buat jadi tabungan di neraka. Hmm berasa serem kalau ingat ini.

Ibnul Qayyim berkata,
“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.

Meskipun rejeki sudah dijamin oleh Allah. Sebagai seorang hamba kita tetap memperjuangkan rejeki yang halal lagi berkah agar bermanfaat. Fokuslah memperkaya diri dengan nilai baik yang tertanam pada diri, baik skill, pengetahuan, dan karakter serta akhlak yang baik. Karena rejeki ga melulu soal harta tapi juga kesehatan, lingkungan yang baik, kelancaran sesuatu pencapaian dan kemudahan lainnya.

Allah berfirman pada Surat Al-Baqarah Ayat 254 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim“
 
Setelah kita menghasilkan dan bernilai dengan rejeki yang baik. Jangan lupa kalau harta kita ada hak orang lain yang musti ditunaikan.

Semoga cerita mengenai rejeki bisa menjadi renungan saya dan kita semua.

You May Also Like

0 comments

What's your opinion about this article ?