Jurnal Ramadhan E4 : Memaknai Ikhlas

by - Mei 20, 2018



Tahun lalu saya pernah cerita tentang peristiwa yang benar - benar menantangkan keikhlasan. Salah satunya kehilangan harta, bahkan juga orang yang kita cintai. Jadi saya jadi kepikiran untuk menasehati kembali dan merenungi kembali makna ikhlas itu kepada diri saya sendiri. Ketika ada sharing session ketika pertemuan para blogger kemarin. Tersentil cerita tentang tantangan ikhlas yang dialami salah satu teman kami.

Beliau pernah kehilangan barang dan harta yang berharga dan banyak. Dimana barang tadi menjadi alat untuk melakukan pekerjaan. Kemudian tak disangka ga jauh dari momen itu barang yang hilang tadi diganti Allah dengan lebih baik dengan cara tak disangka. Begitulah singkat cerita teman itu.

Saya jadi ingat pernah kehilangan uang sejumlah jutaan yang akan disetorkan ke bank secara misterius dan lebih dari sekali. Awalnya merasa rada ga percaya, uang sejumlah sedemikian yang sudah terkumpul lenyap begitu saja. Entah menaruh barang kurang hati hati, atau lagi - lagi muncul di pikiran ini. Mungkin sudah lama tidak bersedekah. Rejeki saya sudah tidak bersih, perlu dibersihkan kadang kala caranya kurang menyenangkan, dengan cara kehilangan.

Ujian keikhlasan lainnya bukan hanya kehilangan barang. Hal yang paling menguji ketika kehilangan orang yang kita cintai. Itu benar - benar menguji keikhlasan, penerimaan atas kenyataan yang terjadi. Ketika saya kehilangan salah satu orang tua saya, yaitu Ayahanda saya secara mendadak. Ingin mengutuk diri rasanya, bahkan mencari kambing hitam dari hilangnya orang yang kita sayangi. Ketika kita tida mengendalikan ikhlas dan husnuzdon kepada Allah tadi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Allah berfirman pada surah Al-Baqaroh 139 yang artinya ;

Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati

Ikhlas itu ilmu yang sangat dalam. Ilmu yang luarbiasa. Ilmu urut dada. Ikhlas disini bukan ilmu mengalah ya. Tapi berusaha menjadikan apa yang dikerjaakan semata-mata kebaikan, semata - mata ridho Allah.

Erat kaitannya dengan menjadikan apa yang dilakukan. Jadi ketika ikhtiar, dibarengi dengan kepercayaan bahwa kelak hasil yang didapatkan akan diterima bagaimanapun caranya.

Secara bahasa sendiri, ikhlas itu bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari hal - hal yang merusak nilai amal itu sendiri. Ini masih relate dengan jurnal sebelumnya yaitu memperbaiki niat.

Ikhlas ilmu yang perlu banyak latihan, tidak terlihat mata namun terlintas di setiap langkah - langkah kita. Kadang ada teman - teman yang mungkin memberi sesuatu ternyata dibelakangannya ada niat untuk agar di lihat. Sehingga lunturlah ikhlas tadi.

Ikhlas juga ga ngutuk - ngutuk kalau misalnya ada sesuatu yang baik diminta atau disarankan terutama berkaitan dengan kebaikan. Bisa aja perintah orang tua, orang yang kita hormati, bisa juga nasehat orang baik.

Ikhlas juga move on, move on kalau bisa jadi orang yang kita harapkan jadi pendamping ternyata tidak berjodoh. Ikhlas bahwa itu sudah garis yang Allah tentukan pada kita. (Ini bukan curcol ya) haha

Semoga bermanfaat!


You May Also Like

2 comments

What's your opinion about this article ?